Rabu, 12 Juli 2017

KERAJAAN MELAYU



KERAJAAN MELAYU

Peta Ranah Melayu purba berdasarkan teori yang diterima umum. Pusat Kerajaan Malayu yang juga terkait dengan situs Muaro Jambi adalah muara sungai Batanghari, Jambi, atau di hulunya yang terletak di pedalaman Minangkabau, Sumatera (sekarang Dharmasraya dan Solok). Tetapi berbagai negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.
Daftar Raja Melayu
Berikut ini daftar nama raja Melayu:
Tarikh
Nama Raja atau Gelar
Ibukota
Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671

Berita China, catatan perjalanan I-tsing (634-713). Dan Prasasti Kedukan Bukit tahun 682.
682-1156


Belum ada berita
1157-1182


Belum ada berita
1183
Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
1184-1285


Belum ada berita
1286
Dharmasraya
Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Malayu.
1316
Dharmasraya atau Suruaso
Prasasti Suruaso (Kab. Tanah Datar sekarang).
1347
Suruaso atau Pagaruyung
Arca Amoghapasa,tahun 1347 di (Kab. Dharmasraya sekarang),
Pindah ke Suruaso, Prasasti Suruaso (Kabupaten Tanah Datar sekarang), Pengiriman utusan ke Cina sebanyak 6 kali dalam rentang waktu 1371 sampai 1377 pada masa Dinasti Ming.
1375
Pagaruyung
Prasasti Batusangkar (Kab. Tanah Datar sekarang).

1.      Makam Rajo-Rajo

Bagi anda yang penasaran seperti apa bangunan makam seorang Raja, anda perlu berkunjung ke Makam Rajo-Rajo Jambi. Wilayah pemakaman kuno yang dikeramatkan penduduk setempat ini merupakan sebuah tempat bersemayamnya raja-raja yang pernah memimpin di Jambi. Makam ini berlokasi di Kecamatan Telanaipura, 4 km dari pusat kota. Di tempat ini dimakamkan isteri Sultan Thaha Syaifuddin, Raden Mattaher, dll.
2. Candi Muaro Jambi

Candi Muaro Jambi ini terletak di Kecamatan Maro Sebo, Desa Muara Jambi, Kabupaten Muara Jambi. Untuk mencapai akses ke candi ini Anda tidak perlu khawatir, mengunjungi tempat ini bisa dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jarak lokasi ini dari pusat kota Jambi adalah 26 km. Hal ini tentunya membuat area ini cukup strategis sebagai salah satu tujuan wisata anda jika anda ingin sedikit merasakan nuansa klasik di Candi Muaro ini. Di komplek ini juga terdapat kolam yang disebut Kolam Telago Rajo, tempat penampungan air pada masa itu.

image credit
Kerajaan Melayu yang pernah ada di Jambi masih menyisakan bebrapa bangunan bersejarah, dan Kompleks Muaro Jambi sendiri merupakan salah satu candi peninggalan sejarah Kerajaan Melayu tersebut. namun sayangnya, karena bangunan yang dianggap tidak layak lagi, maka 6 bangunan candi yang berada di area ini telah direnovasi, seperti Candi Tinggi, Candi Kembar, Candi Gumpung, Candi Gedong I, Candi Gedong II dan Candi Astono.


3. Kota Tua Batang Hari

Pada masa penjajahan Belanda, dibangunlah sebuah kota yang bernuansa Netherland di tanah Jambi. Bangunan ini menjadi saksi bisu tentang masa-masa peralihan kekuasaan dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan. Sampai saat ini bangunan ini masih bisa dikunjungi, namun beberapa sudut dan bagian bangunan telah direnovasi oleh pemerintah kota Jambi. Kota Tua yang menjadi cikal bakal Kota Tembesi ini berada di Jalan Lintas Sumatera Jalur Tengah (Jalinteng) Batang Hari Jambi.


4. Menara Air
Di daerah Putri Ayu, terdapat sebuah menara air yang sepintas terlihat biasa, namun menara air ini merupakan menara tempat pengibaran bendera merah putih ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945. Menara Air ini dibangun pada masa penjajahan Belanda, bangunan setinggi 90 meter ini kini dikelola oleh PDAM. Belanda sering memanfaatkan menara ini untuk mengintai musuh yang hendak menyerang melalui sungai yang ada di bawahnya.


5. Kelenteng Hok Tek

Kelenteng ini merupakan kelenteng bersejarah, terutama bagi pemeluk agama Budha karena kelenteng ini merupakan kelenteng pertama yang ada di Jambi. Kelenteng ini terletak di jalan Husni Tamrin, Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar, kota Jambi. Kelenteng ini berdiri sekitar tahun 1800. Karena beberapa alasan, kelenteng pun dipindahkan ke kawasan Kampung Manggis Jl Kirana II RT 10, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi, sekitar tahun 1982.

Hal yang menarik dari kelenteng berukuran 8x6 meter ini adalah ketika dulu akan dipugar, ternyata proses pemugaran tidak dilanjutkan. Hal tersebut dikarenakan ketika akan mulai menghancurkan bangunan lama, ditemukan bangunan candi yang berada di komplek kelenteng dan karena alasan tersebut, bangunan kelenteng pun dialihfungsikan menjadi bangunan museum.

6. Rumah Batu Pangeran Wirokusumo
Pangeran Wirokusumo, yang bernama asli Ali Idrus Al-Jufri dihadiahi oleh Belanda sebuah rumah yang terbuat dari batu. Singkat cerita, konon Raden Mattaher yang sedang bersembunyi dicari-cari oleh Belanda. Belanda saat itu berusaha mencari dan bertanya kepada Pangeran Wirokusumo. Karena mau memberitahu lokasi persembunyian Raden Mattaher, akhirnya Belanda menghadiahi sebuah rumah dengan tiga gaya arsitek dengan perpaduan Belanda, Melayu, dan Tionghoa.


7. Masjid Al-Falah

Masjid yang sangat terkenal dengan sebutan ‘masjid seribu tiang’ ini dibangun pada tahun 1971 dan selesai pada tahun 1980, dengan menghabiskan 9 tahun masa pembangunan. Masjid terbesar di kota Jambi ini walau terkenal dengan sebutan Masjid Seribu Tiang, namun sebenarnya tiang yang ada di dalam masjid ini hanyalah berjumlah 256 buah. Bentuk masjid ini sederhana dengan tanpa adanya sekat dan dinding, yang ada hanyalah tiang dan atap beserta kubanya.

Tanah tempat berdirinya Masjid Seribu Tiang merupakan saksi sejarah perjuangan raja Thaha Saifuddin melawan Belanda. Pada tahun 1885, tanah Kerajaan Jambi dulunya terikat janji penguasaan oleh Belanda, namun hal ini ditentang oleh Thaha Saifuddin. Mendengar hal ini belanda memutuskan akan menyerang kerajaan Jambi, namun alangkah kagetnya Belanda karena belumsempat mereka menyerang, ternyata mereka terlebih dahulu diserang oleh pasukan Thaha Saifuddin. Belanda pun melancarkan serangan balik dan memporak-porandakan Kerajaan Jambi.


8. Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin
Istana ini terletak di Tanah Garo Muara Tabir Jambi. Sulta Thaha Saifuddin merupakan raja terakhir dari kerajaan jambi yang juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Ia meninggal dalam pertempuran melawan Belanda dengan semangat gigih memperjuangkan tanah lahirnya. Nama harum sultan Jambi ini juga tersohor sampai ke negeri Turki. Pada tahun 1298 H Turki menghadiahi Sultan Thaha Saifuddin dengan medali bersegi tujuh. Penghargaan juga datang dari dalam negeri dengan didirikannya patung untuk mengenang Sultan Thaha Saifuddin di depan kantor Gubernur Jambi.

Sumber Berita Cina
Berita tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]
Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[8]:
“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”
Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:
“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha aliran Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.
Berita lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk pertama kalinya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]
Lokasi Pusat Kerajaan
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Minanga
Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].
Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.
Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].
Dari keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Surat Pengunduran diri, resign

....................., 9 Februari 2017 Kepada, Yth,............................. Dengan Hormat Melalui surat ini saya selaku ka...