KERAJAAN MELAYU
Peta Ranah Melayu purba
berdasarkan teori yang diterima umum. Pusat Kerajaan Malayu yang juga terkait
dengan situs Muaro Jambi adalah muara sungai Batanghari,
Jambi, atau di hulunya yang terletak di pedalaman Minangkabau,
Sumatera (sekarang Dharmasraya dan Solok).
Tetapi berbagai negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan
Sriwijaya pada akhir abad ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka,
Pan Pan dan Panai.
Daftar Raja Melayu
Berikut
ini daftar nama raja Melayu:
Tarikh
|
Nama
Raja atau Gelar
|
Ibukota
|
Prasasti,
catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
|
671
|
|||
682-1156
|
Belum ada berita
|
||
1157-1182
|
Belum ada berita
|
||
1183
|
Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati
Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas
10 tamlin.
|
||
1184-1285
|
Belum ada berita
|
||
1286
|
Dharmasraya
|
Prasasti Padang
Roco tahun 1286 di
Siguntur (Kabupaten
Dharmasraya sekarang), pengiriman Arca Amonghapasa
sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Malayu.
|
|
1316
|
Dharmasraya atau Suruaso
|
Prasasti Suruaso (Kab. Tanah Datar sekarang).
|
|
1347
|
Suruaso atau Pagaruyung
|
Pindah
ke Suruaso, Prasasti Suruaso (Kabupaten Tanah
Datar sekarang), Pengiriman utusan ke Cina
sebanyak 6 kali dalam rentang waktu 1371 sampai 1377 pada masa Dinasti Ming.
|
|
1375
|
Pagaruyung
|
Prasasti
Batusangkar (Kab. Tanah Datar sekarang).
|
1.
Makam Rajo-Rajo
Bagi anda yang penasaran seperti apa
bangunan makam seorang Raja, anda perlu berkunjung ke Makam Rajo-Rajo Jambi.
Wilayah pemakaman kuno yang dikeramatkan penduduk setempat ini merupakan sebuah
tempat bersemayamnya raja-raja yang pernah memimpin di Jambi. Makam ini
berlokasi di Kecamatan Telanaipura, 4 km dari pusat kota. Di tempat ini
dimakamkan isteri Sultan Thaha Syaifuddin, Raden Mattaher, dll.
2. Candi Muaro Jambi
Candi Muaro Jambi ini terletak di
Kecamatan Maro Sebo, Desa Muara Jambi, Kabupaten Muara Jambi. Untuk mencapai
akses ke candi ini Anda tidak perlu khawatir, mengunjungi tempat ini bisa
dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jarak lokasi ini dari
pusat kota Jambi adalah 26 km. Hal ini tentunya membuat area ini cukup
strategis sebagai salah satu tujuan wisata anda jika anda ingin sedikit
merasakan nuansa klasik di Candi Muaro ini. Di komplek ini juga terdapat kolam
yang disebut Kolam Telago Rajo, tempat penampungan air pada masa itu.
Kerajaan Melayu yang pernah ada di
Jambi masih menyisakan bebrapa bangunan bersejarah, dan Kompleks Muaro Jambi
sendiri merupakan salah satu candi peninggalan sejarah Kerajaan Melayu
tersebut. namun sayangnya, karena bangunan yang dianggap tidak layak lagi, maka
6 bangunan candi yang berada di area ini telah direnovasi, seperti Candi
Tinggi, Candi Kembar, Candi Gumpung, Candi Gedong I, Candi Gedong II dan Candi
Astono.
3. Kota Tua Batang Hari
Pada masa penjajahan Belanda,
dibangunlah sebuah kota yang bernuansa Netherland di tanah Jambi. Bangunan ini
menjadi saksi bisu tentang masa-masa peralihan kekuasaan dari masa penjajahan
ke masa kemerdekaan. Sampai saat ini bangunan ini masih bisa dikunjungi, namun
beberapa sudut dan bagian bangunan telah direnovasi oleh pemerintah kota Jambi.
Kota Tua yang menjadi cikal bakal Kota Tembesi ini berada di Jalan Lintas
Sumatera Jalur Tengah (Jalinteng) Batang Hari Jambi.
4. Menara Air
Di daerah Putri Ayu, terdapat sebuah
menara air yang sepintas terlihat biasa, namun menara air ini merupakan menara
tempat pengibaran bendera merah putih ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Menara Air ini dibangun pada masa penjajahan Belanda, bangunan setinggi 90
meter ini kini dikelola oleh PDAM. Belanda sering memanfaatkan menara ini untuk
mengintai musuh yang hendak menyerang melalui sungai yang ada di bawahnya.
5. Kelenteng Hok Tek
Kelenteng ini merupakan kelenteng
bersejarah, terutama bagi pemeluk agama Budha karena kelenteng ini merupakan
kelenteng pertama yang ada di Jambi. Kelenteng ini terletak di jalan Husni
Tamrin, Kelurahan Beringin, Kecamatan Pasar, kota Jambi. Kelenteng ini berdiri
sekitar tahun 1800. Karena beberapa alasan, kelenteng pun dipindahkan ke
kawasan Kampung Manggis Jl Kirana II RT 10, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan
Jelutung, Kota Jambi, sekitar tahun 1982.
Hal yang menarik dari kelenteng
berukuran 8x6 meter ini adalah ketika dulu akan dipugar, ternyata proses
pemugaran tidak dilanjutkan. Hal tersebut dikarenakan ketika akan mulai
menghancurkan bangunan lama, ditemukan bangunan candi yang berada di komplek
kelenteng dan karena alasan tersebut, bangunan kelenteng pun dialihfungsikan
menjadi bangunan museum.
6. Rumah Batu Pangeran Wirokusumo
Pangeran Wirokusumo, yang bernama
asli Ali Idrus Al-Jufri dihadiahi oleh Belanda sebuah rumah yang terbuat dari
batu. Singkat cerita, konon Raden Mattaher yang sedang bersembunyi dicari-cari
oleh Belanda. Belanda saat itu berusaha mencari dan bertanya kepada Pangeran
Wirokusumo. Karena mau memberitahu lokasi persembunyian Raden Mattaher,
akhirnya Belanda menghadiahi sebuah rumah dengan tiga gaya arsitek dengan
perpaduan Belanda, Melayu, dan Tionghoa.
7. Masjid Al-Falah
Masjid yang sangat terkenal dengan
sebutan ‘masjid seribu tiang’ ini dibangun pada tahun 1971 dan selesai pada
tahun 1980, dengan menghabiskan 9 tahun masa pembangunan. Masjid terbesar di
kota Jambi ini walau terkenal dengan sebutan Masjid Seribu Tiang, namun
sebenarnya tiang yang ada di dalam masjid ini hanyalah berjumlah 256 buah.
Bentuk masjid ini sederhana dengan tanpa adanya sekat dan dinding, yang ada
hanyalah tiang dan atap beserta kubanya.
Tanah tempat berdirinya Masjid
Seribu Tiang merupakan saksi sejarah perjuangan raja Thaha Saifuddin melawan
Belanda. Pada tahun 1885, tanah Kerajaan Jambi dulunya terikat janji penguasaan
oleh Belanda, namun hal ini ditentang oleh Thaha Saifuddin. Mendengar hal ini
belanda memutuskan akan menyerang kerajaan Jambi, namun alangkah kagetnya
Belanda karena belumsempat mereka menyerang, ternyata mereka terlebih dahulu
diserang oleh pasukan Thaha Saifuddin. Belanda pun melancarkan serangan balik
dan memporak-porandakan Kerajaan Jambi.
8. Istana Abdurrahman Thaha
Saifuddin
Istana ini terletak di Tanah Garo
Muara Tabir Jambi. Sulta Thaha Saifuddin merupakan raja terakhir dari kerajaan
jambi yang juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Ia meninggal dalam
pertempuran melawan Belanda dengan semangat gigih memperjuangkan tanah
lahirnya. Nama harum sultan Jambi ini juga tersohor sampai ke negeri Turki.
Pada tahun 1298 H Turki menghadiahi Sultan Thaha Saifuddin dengan medali
bersegi tujuh. Penghargaan juga datang dari dalam negeri dengan didirikannya
patung untuk mengenang Sultan Thaha Saifuddin di depan kantor Gubernur Jambi.
Sumber Berita Cina
Berita
tentang kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing
atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai
Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut
Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan
Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)[5]
dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk
mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari
bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]
Kisah
pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan
terjemahan sebagai berikut[8]:
“
|
“Ketika
angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton
menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai
di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk
belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong
mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua
bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ....
Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di
Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat
laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur
India)”
|
”
|
Perjalanan
pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:
“
|
“Tamralipti
adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini
menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini
sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama
atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke
arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu,
yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada
bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai
pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai
Kanton dalam waktu sebulan.”
|
”
|
Menurut
catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha
aliran Hinayana,
kecuali Ma-la-yu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh
kerajaan Melayu.
Berita
lain mengenai kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun
oleh Wang p'u pada
tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk
pertama kalinya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu
tidak ada lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]
Lokasi Pusat Kerajaan
Dari
uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran
antara Sriwijaya dan Kedah. Jadi Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara
Melayu. Hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu
sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco
terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu
merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].
Prof. Slamet
Muljana berpendapat, istilah Malayu
berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk
pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak setuju apabila istana Malayu
terletak di Kota Jambi, karena daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya,
pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di
pedalaman yang tanahnya agak tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu
dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].
Dari
keterangan Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni,
ahli geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan
menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di
Hindia) yang menyatakan bahwa ia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada
garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni
pulau Sumatera[11][12].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar